Pada Minggu ke 5 Puasa Pra Paskah Gereja memperingati St. Maria dari Mesir. Kisah hidup St. Maria dari Mesir adalah kisah perempuan tuna susila yang bertobat.
Pada masa mudanya St. Maria menjalani hidup yang sangat tidak bermoral yang dikemudian waktu, sebagai turis bukan maksud berziarah, ia pergi ke Yerusalem untuk mengikuti Perayaan Peninggian Salib Suci. Namun ada suatu kekuatan besar yang menghalangi ia masuk kedalam gereja sampai ia kemudian tersadar akan dosa-dosanya lalu berseru memanggil Sang Bunda Allah dan kepada Tuhan untuk pengampunan. Setelah itu ia dapat masuk kedalam gereja, lalu karena begitu tergetarkan oleh peristiwa yang dialaminya, ia memutuskan untuk menjalani seluruh hidupnya dalam doa dan pertobatan. Bertahun-tahun kemudian, St. Zosimas sang rahib bertemu dengannya di sebuah padang gurun; dari beliau lah kita dapat mengenal kisahnya.
Sebuah kisah hidup tentang pencarian harapan. Maria telah memiliki keadaan hidup yang penuh kesenangan, anggur dan laki-laki menjadi atmosfernya. Tetapi ia tidak memiliki masa depan, oleh waktu kemewahan dan kecantikan yang dimilikinya juga akan layu, apalagi karena gaya hidupnya yang tidak sehat, setiap laki-laki pun kelak akan meninggalkan dia, dan ia akan sendiri, terbuang dan kekurangan. Tapi dengan berpaling kepada Allah ia menemukan harapan – harapan yang bukan saja hidupnya didunia akan bermartabat dan berarti, namun yang paling penting baginya adalah hidup kekal.
St. Maria dari Mesir
St Zosimas (+4 April) ialah seorang rahib dari sebuah biara di Palestina. Ia telah tinggal di biara sejak kecil, menjalani hidup petapaan sampai ia berusia 53 tahun. Kemudian pikirannya terganggu adakah seorang rahib diluar sana yang dapat mengajarkan dia hidup petapaan yang belum pernah ia capai? Adakah yang melampauinya dalam spiritualitas dan ketenangan?
Suatu ketika, secara tiba-tiba seorang malaikat Tuhan datang kepadanya mengatakan, “Zosimas, kau telah berusaha keras, sejauh kekuatan yang dapat dicapai manusia. Tapi bagaimanapun juga, tidak ada orang benar seorangpun tidak (Roma 3:10). Maka supaya engkau mengetahui betapa banyak jalan yang membimbing pada keselamatan, tinggalkan tanah kelahiranmu, seperti Abraham dari rumah bapanya (Kejadian 12:1), lalu pergilah ke biara di Yordan.”
Segera Abba Zosimas meninggalkan biaranya, dan mengikuti kata malaikat itu, ia pergi ke biara Yordan dan menetap disana.
Disini ia bertemu para Tetua yang ahli kontemplasi, serta dalam perjuangan pertapaannya. Tidak ada satupun mengucapkan kata-kata sia-sia. Mereka terus mengidung dan berdoa sepanjang malam. Abba Zosimas mulai meniru spiritualitas para rahib suci tersebut.
Setelah lama waktu berlalu, suatu ketika mendekati masa Puasa Agung 40 hari. Ada suatu kebiasaan di biara itu, yang mana mengapa Allah telah menempatkan St. Zosimas disana. Pada Minggu Pertama Puasa Agung sang igumen melayani Liturgi Suci, dan setiap orang menerima Tubuh dan Darah Kristus. Setelah itu, mereka berkumpul di sebuah trapeza untuk perjamuan kecil, kemudian sekali lagi berkumpul dalam gereja.
Para rahib berdoa dan bersujud, saling bermaaf-maafan. Kemudian mereka bersujud di hadapan igumen dan meminta berkat restu untuk menjalani perjuangan yang akan dihadapi mereka. Sewaktu melantunkan Mazmur “Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? Tuhan adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?” (Mazmur 27:1), mereka membuka gerbang biara dan para rahib pergi ke padang belantara.
Masing-masing membawa sendiri bekal makanan secukup yang ia perlukan, dan pergi ke padang gurun. Ketika bekal makanan mereka habis, mereka makan akar-akaran dan apasaja yang dapat dimakan yang tumbuh disana. Para rahib menyeberangi Yordan dan berpencar ke banyak arah, sehingga tidak ada yang saling melihat bagaimana masing-masing menjalani puasa dan waktunya.
Para rahib ini akan kembali ke biara pada Minggu Palem, masing-masing memiliki kesadaran, kesaksian dari perjuangan petapaannya. Sudah menjadi peraturan di biara bahwasannya tidak ada seorangpun yang bertanya bagaimana masing-masing berjuang keras di padang gurun.
Abba Zosimas, menurut kebiasaan biara itu, pergi jauh kedalam padang gurun dengan harapan bertemu seseorang yang tinggal disana dan bermanfaat bagi perjalanan spiritualitasnya.
Ia berjalan mengembara kedalam belantara selama 20 hari dan ketika ia mengidungkan Mazmur jam ke 6 dan mengadakan sembahyang biasanya. Tiba-tiba, disamping bukit dimana ia berdiri, ia melihat sosok manusia. Ia merasa takut, berpikiran mungkin saja penampakan setan. Lalu ia menjaga dirinya dengan Tanda Salib, yang menyingkirkan rasa takutnya. Ia menoleh ke samping kanan dan melihat sosok itu berjalan ke arah selatan. Kulit tubuhnya gelap karena panas matahari, dan rambut pendeknya putih seperti bulu domba. Abba Zosimas bersukacita, karena tidak menjumpai makhluk hidup selama berhari-hari.
Sang petapa padang gurun itu melihat Zosimas mendekat, dan berusaha menjauh darinya. Abba Zosimas, yang lupa akan usia dan keterbatasan fisiknya, mempercepat langkahnya mendekati. Ketika ia cukup dekat ia berteriak, “Mengapa engkau menjauh dariku, seorang tua berdosa ini? Tunggulah aku, demi kasih akan Allah.”
Sosok orang asing itu berkata padanya, “Maafkan aku, Abba Zosimas, aku tidak dapat melihatmu dan menunjukkan wajahku padamu. Aku seorang perempuan, dan seperti engkau lihat, aku telanjang. Jika engkau berkenan mengabulkan permintaan seorang perempuan pendosa ini, lemparkan jubahmu supaya aku dapat menutupi tubuhku, maka aku meminta berkatmu.”
Lalu Abba Zosimas terheran, menyadari bahwa tidak mungkin ia dapat mengenal namanya kecuali jika ia memiliki karunia waskita.
Setelah tertutupi jubah, sang petapa perempuan itu bertanya pada Zosimas: “Mengapa engkau mau berbicara denganku, seorang pendosa? Apa yang ingin engkau pelajari dari diriku, ya engkau sendiri yang tidak lelah berjuang keras?”
Abba Zosimas sujud ke tanah dan memohon berkat darinya. Perempuan itu juga bersujud dihadapannya, sampai lama waktunya mereka tetap bersujud saling memohon berkat. Akhirnya, sang petapa perempuan itu berkata: “Abba Zosimas, engkau harus memberkati dan berdoa, karena engkau yang dikaruniai rahmat keimaman. Selama bertahun-tahun engkau telah berdiri dihadapan altar kudus, mempersembahkan Korban Kudus kepada Tuhan.”
Kata-katanya membuat St. Zosimas lebih merasa takut. Dengan airmata ia berkata pada petapa perempuan itu, “ Ya Ibu! Terang sekali engkau telah hidup bersama Allah dan telah mati bagi dunia ini. Engkau dapat menyebut namaku dan mengenalku sebagai imam, sekalipun engkau belum pernah mengenalku sebelumnya. Nampak rahmat yang diberikan padamu, maka berkatilah aku ini, demi Tuhan.”
Ia menuruti permintaannya dan berkata, “Terberkatilah Allah, Yang menginginkan keselamatan manusia.” Abba Zosimas menjawab, “Amin.” Lalu mereka berdiri. Petapa perempuan itu bertanya lagi pada sang Tetua, “Mengapa engkau datang, Romo, padaku seorang pendosa ini, yang telah kehilangan semua kebajikan? Tampaknya, rahmat dari Roh Kudus telah membawamu memberikan pelayanan ini kepada diriku. Tapi katakan lebih dulu padaku, Abba, bagaimana orang-orang Kristen menjalani hidupnya, bagaimana Gereja membimbing?”
Abba Zosimas menjawabnya, “Oleh doa-doa suci darimu Allah mengaruniai Gereja dan kami semua ketentraman. Tetapi penuhilah permintaanku yang tak layak ini, Ibu, dan berdoalah bagi seluruh dunia dan bagiku orang berdosa ini, supaya pengembaraanku di padang gurun ini tidak menjadi sia-sia.”
Sang petapa suci menjawab, “Engkaulah, Abba Zosimas, sebagai imam, seharusnya berdoa untukku dan untuk semua, karena engkau dipanggil untuk melakukannya. Tapi bagaimanapu juga, karena kita harus taat, aku akan lakukan apa yang engkau minta.
Orang kudus itu menghadap ke timur, dan mengangkat matanya ke langit dan mengulurkan tangannya, ia mulai berdoa dalam bisikan. Ia berdoa sangat lembut sampai Abba Zosimas tidak dapat mendengar perkataannya. Setelah sekian lama, sang Tetua itu menyaksikan dia terangkat berdiri melayang satu kaki diatas permukaan tanah. Menyaksikan kejadian ini, Zosimas sujud ke tanah, menangis dan mengulang-ulang, “Tuhan kasihanilah!”
Kemudian ia dicobai oleh pikirannya. Ia berpikir mungkinkah dia ini makhluk roh dan doanya mungkin saja tidak jujur. Pada saat itu juga petapa perempuan itu mengangkat dia berdiri dan mengatakan, “Mengapa pikiranmu mengganggumu, Abba Zosimas? Aku bukanlah penampakan roh. Aku hanyalah seorang perempuan pendosa dan tak layak, meskipun aku dijaga oleh Baptisan suci.”
Kemudian ia membuat Tanda Salib dan berkata, “Semoga Allah melindungi kita dari si jahat dan rencananya, karena keras usahanya melawan kita.” Karena melihat dan mendengar hal ini, sang Tetua jatuh di kakinya dengan airmata mengatakan, “Aku mohon padamu karena Kristus Allah kita, jangan menutupi jati dirimu dan bagaimanakah engkau sampai di padang gurun ini. Ceritakanlah padaku semuanya, supaya karya Allah yang mengagumkan dapat terlihat.”
Ia menjawab, “Ini menyedihkanku, Romo, untuk menceritakan padamu tentang hidupku yang memalukan. Jika engkau mendengar kisahku, kau akan meninggalkanku, seperti aku ini ular berbisa. Tetapi aku akan ceritakan padamu semuanya, Romo, tidak menutupi apapun. Bagaimanapun, aku sangat meminta padamu, janganlah berhenti mendoakan aku orang berdosa ini, agar aku mendapatkan belas kasihan pada Hari Penghakiman Akhir.”
“Aku lahir di Mesir dan ketika berusia 12 tahun, aku meninggalkan orangtuaku dan pergi ke Alexandria. Disana aku kehilangan kesucianku dan menyerahkan diriku menjadi budak hawa nafsu yang tak terkendali dan tak terpuaskan. Telah selama 17 tahun aku menjalani hidup demikian dan aku senang melakukannya. Jangan berpikir aku tidak menolak uang karena aku kaya. Aku hidup dalam kemiskinan dan bekerja di pemintalan kain. Bagiku, hidup adalah memuaskan hawa nafsu kedaginganku saja.”
“Suatu hari musim panas aku melihat kumpulan orang dari Libia dan Mesir hendak menyeberang laut. Mereka dalam perjalanan ke Yerusalem untuk Perayaan Peninggian Salib Suci. Aku juga ingin berlayar bersama mereka. Karena aku tidak punya makanan dan uang, aku memberikan tubuhku sebagai gantinya. Dan demikianlah aku sampai di kapal itu.”
“Sekarang, Romo, percayalah, aku sangat kagum, bahwasannya lautan menerima kebrandalan dan percabulanku, bahwa bumi tidak membuka mulutnya dan menarikku kebawah kedalam neraka, karena aku telah menjerat begitu banyak jiwa. IA tidak menginginkan kematian seorang pendosa, tetapi menantikan pertobatannya.”
“Maka aku tiba di Yerusalem dan sebelum Perayaan itu telah mengahbiskan hari-hari penuh kehidupan semacam itu dan bahkan lebih buruk lagi.”
“Ketika tiba Perayaan suci Peninggian Salib Tuhan Yang Terhormati, aku pergi dengan keinginan lama, mencari laki-laki muda. Pada fajar pagihari aku menyaksikan semua orang berangkat menuju gereja, maka aku pergi mengikuti bersama mereka. Ketika waktu prosesi Pengangkatan Suci mendekat, aku mencoba masuk kedalam gereja bersama semua orang itu. Dengan bersusah payah aku berusaha sampai ke gerbang, dan mencoba masuk kedalam. Sekalipun aku sudah menginjakkan kaki di batas gerbang, ada seperti kekuatan besar menarikku, menahanku agar tidak dapat masuk. Aku terpinggirkan oleh kerumunan, sampai aku tinggal berdiri sendirian di serambi. Aku berpikir mungkin ini terjadi karena kelemahan fisik perempuanku. Aku kembali menuju kerumunan dan lagi mencoba menyikut orang minggir. Betapapun kerasnya aku berusaha, aku tetap saja tidak dapat masuk. Setiap ketika aku menginjakkan kakiku di batas gereja, aku terhenti. Semuanya dapat masuk ke gereja tanpa kesulitan, sementara aku sendiri yang tidak dapat masuk kedalam. Ini terjadi sampai 3 atau 4 kali. Akhirnya aku kelelahan. Aku pergi dan berdiri di pojok serambi gereja.”
“Kemudian aku menyadari ini karena dosa-dosaku yang menghalangi diriku menyaksikan Kayu Salib Pemberi-Hidup. Rahmat dari Tuhan kemudian menyentuh hatiku. Aku menangis dan meratap, sampai memukul-mukul dadaku. Berseru-seru dari dalam hatiku, lalu aku melihat diatasku sebuah ikon Sang Theotokos Tersuci. Melihatnya, aku berdoa: “Ya Perawan Suci, yang memberi-lahir secara jasmani Allah Sang Sabda! Aku tahu bahwa aku tak layak memandang ikonmu. Aku benar-benar membangkitkan kebencian dan kejijikan dihadapan kemurnianmu, tetapi aku juga mengetahui bahwasannya Allah menjadi Manusia untuk memanggil pendosa bertobat. Tolonglah aku, Ya Dikau Yang Termurni. Biarkan aku masuk kedalam gereja. Layakkan aku menyaksikan Salib Kayu dimana Tuhan telah disalibkan secara daging, menumpahkan DarahNya untuk penebusan orang-orang berdosa, dan juga untuk aku. Jadilah saksiku dihadapan PuteraMu sehingga aku tak akan pernah lagi mencemari tubuhku lagi dengan kecemaran percabulan. Segera setelah aku dapat menyaksikan Kayu Salib PuteraMu, aku akan menyangkali dunia, dan pergi kemanapun engkau membimbing aku.”
“Setelah aku mengatakan demikian, aku dapat merasakan kasih sayang Bunda Allah, dan meninggalkan tempat dimana aku berdoa itu. Aku bergabung bersama mereka yang memasuki gereja, dan tidak ada yang menarikku atau menghalangiku masuk. Aku melangkah dengan rasa takut dan gemetar, dan masuk ke tempat suci.”
“Demikianlah aku dapat menyaksikan Misteri Allah, dan betapa Allah menerima pertobatan. Aku jatuh bersujud ke tanah yang suci dan menciumnya. Kemudian aku cepat kembali lagi berdiri didepan ikon Sang Bunda Allah, dimana aku telah mengucapkan kaulku. Berlutut dihadapan Theotokos Sang Perawan, aku berdoa:”
“Ya Bunda, engkau tidak menolak doaku sebagai yang tak layak. Kemuliaan bagi Allah, Yang menerima pertobatan orang berdosa. Tiba saatnya bagiku memenuhi kaulku, yang engkau menjadi saksinya. Maka Ya Bunda, bimbinglah aku ke jalan pertobatan.”
“Kemudian aku mendengar sebuah suara dari tempat tinggi” ‘Jika kau menyeberangi Yordan, kau akan menemukan istirahat mulia.’
“Aku seketika meyakini bahwa suara itu tertuju padaku, dan aku berseru kepada Sang Bunda Allah : ‘Ya Bunda, jangan tinggalkan aku!’
“Lalu aku tinggalkan serambi gereja dan mulai perjalananku. Seseorang memberikan padaku 3 keping uang begitu aku meninggalkan gereja. Dengannya aku membeli 3 roti, dan bertanya pada si penjual dimana arah ke Yordan.”
“Saat itu jam 9 ketika aku melihat Salib Kayu. Ketika matahari terbenam aku sudah sampai di gereja St. Yohanes Pembaptis di tepi sungai Yordan. Setelah berdoa didalam gereja, aku turun ke Yordan dan membasuh wajahku dan tanganku dengan airnya. Lalu di gereja yang sama di St. Yohanes Sang Perintis Jalan, aku menerima Sakramen Kristus Sang Pemberi Hidup. Kemudian aku memakan separuh roti yang aku bawa, minum air suci dari Yordan, dan tidur diatas tanah malam itu. Di pagi hari berikutnya aku menemukan sebuah perahu kecil dan menyeberangi sungai ke tepi seberang. Sekali lagi aku berdoa agar Sang Bunda Allah akan membimbing aku kemana Ia inginkan. Kemudian aku mendapati diriku di padang gurun ini.”
Abba Zosimas bertanya padanya. “Berapa tahunkan telah engkau lewati sejak mulai tinggal di padang gurun ini?”
“Aku pikir,” ia menjawab, “sudah 47 tahun sejak aku datang dari Kota Suci.”
Abba Zoasimas bertanya lagi, “Makanan apa yang dapat engkau temukan disini, Ibu?”
Dan ia menjawab, “Aku membawa dua setengah roti ketika menyebrang Yordan. Tidak lama roti itu mengering dan mengeras aku memakannya sedikit sesekali waktu, sampai aku menghabiskannya setelah beberapa tahun.”
Abba Zosimas kembali bertanya, “Mungkinkah engkau dapat bertahan sekian tahun lamanya tanpa sakit, dan tanpa sengsara dalam situasi apapun dengan perubahan yang amat sangat?”
“Percayalah, Abba Zosimas,” perempuan suci itu mengatakan, “aku telah menjalani 17 tahun di padang belantara ini (setelah ia menghabiskan 17 tahun hidupnya dulu dalam kebejatan), memerangi binatang buas : hasrat dan hawa nafsu yang gila. Ketika aku memakan roti, aku berpikir tentang daging dan ikan yang dahulu aku miliki dengan melimpah di Mesir. Aku juga merindukan anggur yang sangat aku sukai ketika itu, sementara disini aku bahkan tidak memiliki air. Aku menderita haus dan lapar. Aku juga sangat menginginkan lantunan lagu yang kotor. Aku seperti mendengar itu semua, mengganggu batinku dan pendengaranku. Aku menangis dan memukuli dadaku, aku mengingat kaul yang telah kubuat sendiri. Sampai akhirnya aku menyaksikan Cahaya terang bersinar padaku dari segala arah. Setelah pencobaan keji, suatu ketenangan tak terhentikan datang kemudian.
“Abba, bagaimana harus aku katakan padamu mengenai pikiran-pikiran yang mendorongku ke percabulan? Sebuah api nampaknya menyala didalam diriku, membangkitkan aku untuk meraihnya. Lalu aku akan menjatuhkan diriku ke tanah dan membasahinya dengan airmata ku. Aku seperti melihat Sang Perawan Suci dihadapanku, dan ia nampak memperingatkan aku untuk menepati kaulku. Aku menundukkan wajahku ke tanah siang dan malam, dan tidak akan mengangkatnya sampai Cahaya yang terberkati itu mengelilingi aku, mengacaukan pikiran-pikiran jahat yang mengganggu diriku.
“Demikianlah aku menjalani hidupku di belantara ini selama 17 tahun pertama. Kegelapan demi kegelapan, kesengsaraan demi kesengsaraan menimpaku, orang berdosa. Tetapi sejak saat itu sampai sekarang Sang Bunda Allah menolongku dalam segala hal.”
Abba Zosimas bertanya lagi, “Bagaimana bisa engkau tidak membutuhkan makanan ataupun pakaian?”
Ia menjawab, “Setelah menghabiskan rotiku, aku makan tumbuhan dan apapun yang aku temukan di padang gurun. Pakaian yang aku punya ketika menyeberang Yordan robek dan rusak. Aku menderita baik di panasnya musim panas, dari dinginnya musim dingin, menggigil kedinginan. Banyak kali aku terjatuh ke tanah, seolah mati. Aku berjuang dengan penyakit dan pencobaan. Tapi sejak saat itu sampai sekarang, kekuatan dari Allah selalu menjaga jiwaku yang penuh dosa dan tubuhku yang lemah. Aku telah diberi makan dan pakaian oleh firman dari Allah yang terkuat, karena manusia tidak hidup dari roti saja, tapi dari segala yang diucapkan Tuhan (Ulangan 8:3, Matius 4:4, Lukas 4:4), dan mereka yang telah melepaskan manusia lamanya (Kolose 3:9) tidak memiliki tempat bernaung, menghimpitkan badannya diantara celah-celah gunung batu (Ayub 24:8, Ibrani 11:38). Ketika aku teringat akan kejahatan dan dari dosa-dosa mana Tuhan telah menyelamatkanku, aku mempunyai makanan yang tak lapuk untuk keselamatan.”
Ketika Abba Zosimas mendengar sang petapa suci ini mengutip dari Kitab Suci dari ingatannya, dari Kitab Musa dan Ayub dan dari Mazmur Daud, ia bertanya pada perempuan suci itu, “Ibu, apakah engkau membaca Mazmur atau kitab-kitab lainnya?”
Ia tersenyum mendengar pertanyaan ini, dan menjawab, “Percayalah, aku tidak melihat wajah manusia selain engkau sejak saat aku menyeberangi Yordan. Aku tidak pernah belajar dari kitab-kitab. Aku tidak pernah mendengar siapapun membacanya atau mengidungkan dari nya. Mungkin Firman dari Allah, yang hidup dan berbuat, mengajar manusia pengetahuan dengan sendirinya (kolose 3:16, 1 Tessalonika 2:13). Inilah akhir kisah hidupku. Aku meminta padamu, aku memohon padamu demi Firman Alah Yang Berinkarnasi, ya Abba suci, berdoalah untukku, orang berdosa.
“Lebih lagi, aku mohon padamu, demi Yesus Kristus Tuhan dan Juruselamat kita, jangan ceritakan ke orang lain apa yang engkau dengar dariku, sampai Allah mengambilku dari dunia ini. Tahun depan, ketika Puasa Agung Pra Paskah, janganlah menyeberangi Yordan, sepertu kebiasaan di biaramu.”
Sekali lagi Abba Zosimas terheran, bahwa praktik kebiasaan di biaranya telah diketahui juga oleh sang petapa suci ini, sekalipun ia tidak pernah mengatakan apapun tentang hal itu.
“Tetaplah tinggal di biara,” perempuan suci ini melanjutkan. “Meskipun engkau mencoba meninggalkan biara itu, engkau tidak akan dapat melakukannya. Pada Kamis Kudus, di hari Perjamuan Akhir Tuhan, letakkanlah Tubuh dan Darah Kristus Pemberi-Hidup, Allah kita, kedalam satu tempat suci, dan bawalah itu untuk diriku. Tunggulah aku di sisi Yordan ini, di ujung padang gurun, sehingga aku dapat menerima Sakramen Suci. Serta sampaikanlah kepada Abba Yohanes, sang igumen dari komunitasmu, ‘Tiliklah dirimu sendiri dan saudara-saudaramu’ (1 Timotius 4:16), karena ada banyak yang memerlukan perbaikan. Janganlah sampaikan hal ini padanya sekarang, tapi nanti ketika Tuhan memberi tandanya.”
Setelah memohon doanya, perempuan suci ini berbalik dan menghilang ke pedalaman padang gurun.
Selama sepanjang tahun Tetua Zosimas tetap diam, tidak berani membuka kepada siapapu n apa yang telah ia lihat, dan ia berdoa kepada Tuhan agar mengaruniai dia melihat sang petapa suci itu sekali lagi.
Ketika tiba kembali minggu pertama Puasa Agung Pra Paskah, St. Zosimas harus tetap tinggal di biara karena ia dalam keadaan sakit. Kemudian ia ingat nubuatan perempuan suci itu bahwasannya ia tidak akan dapat meninggalkan biara. Setelah beberapa hari berlalu, St. Zosimas sembuh dari penyakitnya, tetapi ia tetap tinggal di biara sampai tiba Pekan Suci.
Pada Kamis Kudus, Abba Zosimas melaksanakan apa yang telah diminta darinya untuk dilakukan. Ia meletakkan sebagian Tubuh dan Darah Kristus kedalam cawan, dan sebagian makanan dalam sebuah keranjang kecil. Kemudian ia meninggalkan biara dan pergi ke Yordan serta menunggu sang petapa suci itu. Pikirnya ia terlambat, lalu Abba Zosimas berdoa kepada Allah agar diijinkan berjumpa dengan sang perempuan suci itu.
Akhirnya, ia melihat dia berdiri di sisi sungai yang lebih jauh. Ia bersukacita, St. Zosimas bangkit dan memuliakan Allah. Lalu ia terheran bagaimana ia dapat menyeberang Yordan tanpa sebuah perahu. Perempuan suci itu membuat Tanda Salib keatas air, dan berjalan diatas air menyeberangi Yordan. Abba Zosimas melihatnya dalam cahaya bulan, sedang berjalan ke arahnya. Ketika sang Tetua hendak bersujud dihadapannya, ia melarangnya, berseru, “Apa yang engkau lakukan, Abba? Engkau adalah seorang imam dan engkau membawa Sakramen Suci dari Allah.”
Setelah sampai di batas sungai, ia berkata pada Abba Zosimas, “Berkatilah aku, Romo.” Ia menjawabnya dengan gemetar, terkagum akan apa yang dia saksikan. “Sunggulah Allah benar ketika menjanjikan siapa yang menyucikan dirinya akan menjadi seperti DIA. Kemuliaan bagiMu, Ya Kristus Allah kami, karena menunjukkan padaku melalui hambamu yang suci, betapa jauhmya aku dari sempurna.”
Sang perempuan suci ini meminta dia membacakan Pengakuan Iman dan doa “Bapa kami”. Ketika doa-doa telah selesai, ia mengambil bagian Sakramen Suci Kristus. Kemudian ia mengangkat tangannya ke langit dan mengucapkan, “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu.”
Sang suci itu berkata kepada Tetua, “Tolonglah, Abba, penuhilah permintaanku yang lain. Pergilah sekarang ke biaramu, dan di tahun depan datanglah ke tempat dimana kita pertama berbicara.”
Ia mengatakan, “Jika saja mungkin bagiku mengikutmu dan selalu dapat melihat wajah sucimu?”
Ia menjawab, “Demi Tuhan, berdoalah untukku dan ingatlah akan keadaanku yang menyedihkan.”
Sekali lagi perempuan suci itu membuat Tanda Salib keatas Yordan, dan berjalan diatas air seperti sebelumnya, lalu menghilang ke padang gurun. Zosimas kembali ke biara dengan sukacita sekaligus khawatir, menyalahkan dirinya sendiri karena ia tidak menanyakan siapa nama petapa suci itu. Ia berharap melakukannya tahun depan.
Setahun berlalu, dan Abba Zosimas pergi ke padang gurun itu. Ia sampai ke tempat dimana ia mertama melihat sang petapa perempuan suci itu. Ia telah terbaring meninggal, dengan tangan terlipat didadanya, serta wajahnya menghadap ke timur. Abba Zosimas membasuh kakinya dengan airmatanya serta mencium kakinya, tidak berani menyentuh yang lain. Untuk waktu yang lama dia bersedih atasnya dan mengidungkan Mazmur menurut kebiasaan, dan mengucapkan doa pemakaman. Ia mulai bertanya-tanya apakah sang suci ini menghendaki dia menguburkannya atau tidak. Setelah berpikir demikian, ia melihat sesuatu tertulis di tanah dekat kepalanya : “Abba Zosimas, kuburkanlah ditempat ini tubuh dari Maria yang tak layak. Kembalikan ke tanah apa yang dari tanah. Berdoalah pada Tuhan untukku. Aku meninggal pada hari pertama bulan April, pada malam Sengsara Kristus, setelah mengambil bagian Sakramen Suci.”
Setelah membaca catatan tersebut, Abba Zosimas lega telah mengetahui namanya. Kemudian ia menyadari bahwa St. Maria, setelah menerima Sakramen Suci dari tangannya, ia telah pindah secara cepat mengagumkan ke tempat dimana ia meninggal, padahal ia sendiri perlu 12 hari perjalanan ke tempat tujuan itu.
Dengan memuliakan Allah, Abba Zosimas berkata pada dirinya, “Inilah saatnya melaksanakan permintaanya. Tapi bagaimana aku bisa menggali kubur dengan tidak membawa apapum ditanganku?” Kemudian ia melihat sebatang kayu yang ditinggalkan seseorang. Ia mengambilnya dan mulai menggali. Tanah itu keras dan kering, dan ia tidak dapat menggalinya. Abba Zosimas melihat singa besae berdiri disamping tubuh sang suci itu dan menjilati kakinya. Sang tetua ketakutan, tapi ia melindungi dirinya dengan Tanda Salib, percaya bahwa ia akan baik-baik saja oleh doa sang petapa suci itu. Kemudian singa itu mendekati sang Tetua, menunjukkan bersahabat. Abba Zosimas memerintahkan singa itu menggali tanah untuk menguburkan tubuh St. Maria. Sesuai katanya, singa itu menggali lubang yang cukup untuk menguburkan tubuh sang suci. Kemudian masing-masing pergi, singa itu ke padang gurun, dan Abba Zosimas kembali ke biara, memuji Kristus Allah kita.
Setibanya di biara, Abba Zosimas menceritakan kepada para rahib dan igumen, apa yang telah ia saksikan dan dengar dari St. Maria. Semuanya terheran, mendengar mujizat dari Allah. Mereka selalu memperingati St. Maria dengan iman dan kasih pada hari meninggalnya.
Abba Yohanes, sang igumen biara, memperhatikan perkataan St. Maria, den dengan pertolongan Allah memperbaiki apa yang salah di biaranya. Abba Zosimas hidup menyenangkan Allah di biaranya, mencapai usia hampir seratus tahun. Disana ia mebgakhiri hidupnya di dunia.
Para rahib menerus-lanjutkan kisah hidup St. Maria dari Mesir dengan tradisi lisan tanpa menulisnya. “Aku bagaimanapun”, kata St. Sofronius dari Yerusalem (+11 Maret), “menuliskan Kehidupan St. Maria dari Mesir sebagaimana yang aku dengar dari para bapa suci. Aku mencatat semuanya, meletakkan kebenaran diatas segalanya.”
“Semoga Allah, Yang mengerjakan mujizat-mujizat besar dan melimpahkan karunia kepada semua yang berpaling kepadaNya dalam iman, menganugerahi siapa saja yang mendengar atau membaca catatan ini, dan siapapun yang menyalinnya. Semoga IA mengaruniai mereka berkat ambil bagian bersama dengan St. Maria dari Mesir beserta semua orang kudus yang telah menyenangkan Allah dengan pikiran serta karya kesalehan mereka. Mari kita muliakan Allah, Sang Raja Kekekalan, bahwa kita dapat memperoleh belas kasihan pada Hari Penghakiman Akhir melalui Tuhan kita Yesus Kristus, Yang BagiNya segala kemuliaan, hormat, keagungan dan sembah puji bersama dengan Sang Bapa yang tanpa asal, dan Sang Roh Kudus Pemberi-Hidup, sekarang dan selalu serta sepanjang segala abad. Amin.”
________
(bess-050421)
Ref.:
https://pravoslavie.ru/102368.html
https://www.oca.org/saints/lives/2016/04/17/18-5th-sunday-of-great-lent-st-mary-of-egypt