+ diperingati 19 Mei / 6 Mei (kalender Gereja)
St. Ayub, Orang Benar, hidup sekitar 2000-1500 tahun sebelum Kristus, di Arabia utara, di negeri Austidia di tanah Uz. Hidup dan penderitaannya dicatat dalam Kitab Ayub. Ada suatu opini, bahwa Ayub secara keturunan keponakan dari Abraham, dan ia anak dari saudara Abraham – Nakhor. Ayub seorang yang setia dan takut akan Allah. Dengan segenap jiwanya berbakti kepada Tuhan Allah dan dalam segala hal dilakukannya menurut kehendak Allah, menjauhi semua yang jahat bukan saja perbuatan, tetapi juga dalam pikirannya. Tuhan memberkati hidup duniawinya dan menganugerahi Ayub dengan kekayaan besar: ia memiliki banyak ternak dan segala macam kepemilikan. Ayub memiliki tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Setiap tujuh hari Ayub memberikan korban persembahan bagi anaknya kepada Allah, barangkali salah satu dari mereka berdosa atau bersalah kepada Allah didalam hati mereka. Karena perbuatan kebenaran dan kejujuran St. Ayub dihormati oleh masyarakatnya dan ia memiliki pengaruh besar dalam perkara-perkara mereka.
Suatu ketika para Malaikat berdiri dihadapan Tahta Allah, Setan nampak diantara mereka. Tuhan Allah bertanya kepada Setan, apakah dia melihat Ayub hambaNya, seorang yang benar dan tanpa cacat. Setan beraninya menjawab, bahwasannya bukanlah tanpa alasan Ayub takut akan Allah – karena Allah selalu memperhatikan dia dan melipatgandakan kekayaannya, tetapi jika saja kemalangan akan didatangkan padanya, ia akan berhenti memberkati Allah. Maka Tuhan, hendak membuktikan kesabaran dan iman Ayub, berkata pada Setan bahwa : semua, yang Ayub miliki, Allah menyerahkan pada tangannya (setan), tapi jangan menyentuh dia (Ayub). Setelah itu tiba-tiba Ayub kehilangan semua harta kekayaannya, dan juga anak-anaknya. Ayub Yang Benar berbalik pada Allah dan mengatakan : “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” Oleh karena itu Ayub tidak bersalah kepada Tuhan Allah.
Ketika para Malaikat Allah mengadap lagi kepada Allah dan hadir juga Setan, lalu berkatalah iblis, bahwasannya Ayub orang yang benar karena dirinya sendiri tidak menderita sakit. Dan Allah mengijinkan iblis melakukan keinginannya, tetapi sayangkan jiwanya. Setelah itu Setan membuat Ayub sakit yang mengerikan, barah yang busuk yang melukainya dari kepala hingga kaki. Membuat Ayub dijauhi dari masyarakat, ia duduk menjauh dari kota dan harus mengorek luka-lukanya dengan pecahan beling yang tajam. Semua sahabat dan orang-orang dekatnya menjauh dan meninggalkan dia. Istrinya harus mengurusi dirinya sendiri, bekerja keras dan berkeliling dari rumah ke rumah. Istrinya bukan saja tidak membantu suaminya dengan sabar, malahan berpikir, bahwa Allah sedang menghukum Ayub karena dosa-dosa rahasia dan dia bersedih, meratap pada Allah, dia menegur suaminya sampai meminta Ayub mengutuki saja Allah dan mati. Maka Ayub berduka karenanya, mengatakan sekalipun dalam keadaan sengsara dia tetap setia kepada Allah. Kata Ayub kepada isterinya : “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.
Mendengar kemalangan Ayub, tiga sahabatnya datang dari jauh untuk menghiburnya. Mereka menganggap, bahwasannya Ayub mendapat hukuman dari Allah karena dosa-dosanya, dan mengatakan dia harus melakukan pertobatan. Ayub Yang Benar menjawabnya, bahwa dia bukan menderita sengsara karena dosa-dosanya, tetapi karena bencana-bencana ini dikirimkan kepadanya dari Tuhan semata menurut Kehendak Suci Allah yang tak terselami oleh manusia. Para sahabatnya tidak mempercayainya dan mereka tetap saja berpikir bahwa Tuhan menghukum Ayub karena pelanggaran yang sangat besar, hingga menghukum Ayub karenanya. Dalam rasa malu dan sedih yang dalam Ayub berdoa kepada Allah, memohon kepada Allah Sendiri bersaksi kepada mereka bahwa dia tidak bersalah. Allah lalu menyatakan Diri dalam badai dan menegur Ayub, karena dia telah mencoba dengan pengertiannya kedalam misteri alam dan tujuan apa yang menurut Kehendak Allah. Ayub Yang Benar, sepenuh hati bertobat karenanya dan berkata : “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” Tuhan lalu memerintahkan sahabat-sahabat Ayub memintanya memohon dan memberikan korban persembahan bagi mereka. Karena, kata Tuhan “hanya permintaannyalah (Ayub) yang akan Kuterima, supaya Aku tidak melakukan aniaya terhadap kamu, sebab kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.” Ayub memberikan korban persembahan kepada Allah bagi sahabat-sahabatnya itu, dan Tuhan menerima perantaraannya, kemudian Tuhan memulihkan kesehatan Ayub dan memberinya dua kali lipat dari apa yang telah ia miliki sebelumnya. Sebagai ganti ia juga mendapatkan tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan, lebih cantik dari siapapun di negeri itu. Setelah mengemban sengsara itu, Ayub tinggal 140 tahun lagi lamanya hingga melihat keempat generasi keturunannya. St. Ayub mempra-figurasikan Tuhan Yesus Kristus, yang turun ke bumi dan menderita bagi keselamatan manusia, kemudian dimuliakan dalam KebangkitanNya yang Mulia.
“Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingkupun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.” (Ayub 19:25-27)
“tetapi kepada manusia Ia berfirman: Sesungguhnya, takut akan Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan itulah akal budi.” (Ayub 28:28)
St. Yohanes Krisostomos mengatakan: “Tidak ada kemalangan manusia, yang tidak mampu ditanggung manusia ini. Dia yang paling teguh dan paling kukuh, ditempa oleh bencana yang datang tiba-tiba oleh kelaparan, dan oleh dukacita, dan parahnya kesakitan, dan kehilangan anak-anaknya, dan kehilangan kekayaan, kemudian menderita perlakuan jahat dari istrinya, ejekan sahabat-sahabatnya, teguran hamba-hambanya, dan dalam semuanya itu ia telah menunjukkan dirinya lebih kokoh dari batu karang dan menjadi akar dari Hukum juga Rahmat.”