Rahib Pakomius Agung

+ diperingati 28 Mei / 15 Mei (kalender Gereja)

Rahib Pakomius Agung, bersama St. Antonius Agung (diperingati 17 Januari), St. Makarius Agung (diperingati 19 Januari), dan St. Euthymius Agung (diperingati 20 Januari), ialah teladan tinggal hidup di belantara, dan pendiri kehidupan membiara cenobitik di Mesir. Rahib Pakolius lahir di abad ke 3 di Thebaid (atau Thebais), Mesir. Orangtua nya beragama pagan dan dia menerima pendidikan sekular yang baik. Sejak mudanya ia memiliki sifat karakter yang baik. Ketika ia berusia 20 tahun, ia terpanggil menjadi tentara kaisar Konstantin (tahun 315), memenuhi semacam wajib militer dan berada dalam tempat tahanan serta didalam penjagaan. Orang-orang Kristen lokal datang mengirimkan makanan, untuk para prajurit dan memperhatikan kebutuhan mereka. Ketika para pemuda ini kemudian dapat mengetahui, bagaimana orang-orang tersebut berbuat demikian bagi Allah, memenuhi perintahNya mengasihi sesama, hal inilah yang menarik bagi jiwanya yang murni. Pakolius berkaul untuk menjadi seorang Kristen. Setelah kembali dari tugas ketentaraan, Pakolius menerima Baptisan Suci, kemudian ia memulai kehidupan asketiknya. Karena semakin merasa perlu bimbingan rohani, ia pergi ke belantara Thebaid menemui Palamon, yang tinggal disana. Ia amat diterima oleh sang tetua, lalu ia mulai melanjutkan berusaha menjalani hidup monastik dengan bimbingannya.

Suatu ketika, setelah 10 tahun menjalani hidup di belantara, Rahib Pakolius tengah perjalanan di padang gurun, ketika ia berhenti di reruntuhan suatu bekas desa di Tebennis lalu ia mendengar Suara, yang meminta dia mendirikan sebuah biara di tempat tersebut. Pakomius mengabarkan hal itu kepada tetuanya Palamon, kemudian mereka mempertimbangkan perkataan yang dia dengar itu sebagai perintah dari Allah. Mereka pergi ke Tebennis dan memulai membangun sebuah gubuk petapaan kecil disana. Sang tetua suci Palamon memberkati pembangunan pertama biara tersebut dan mengatakan prediksinya bahwa dimasa mendatang akan menjadi besar. Tetapi tidak lama kemudian Rahib Palamon meninggal didalam Tuhan. Malaikat Allah nampak kepada St. Pakolius dalam rupa seorang rahib-skema dan memberikan pada dirinya sebuah aturan (ustav-rule) kehidupan membiara. Kemudian setelahnya saudara-tuanya sendiri, Yohanes, datang dan tinggal disana bersama dengan dia.

Rahib Pakomius mengalami banyak pencobaan dan serangan dari musuh manusia, namun Rahib Pakomius dengan berani mengalahkan semua cobaan dengan doa kepada Allah dan penahanan diri.
Tak lama kemudian disana mulai berdatangan pengikut Rahib Pakomius. Sang guru mereka mengesankan setiap orang dengan kecintaannya pada pekerjaan, dimana ia dapat menyelesaikan semua tugas pekerjaan monastik: membudidayakan tanaman, ia telaten berbicara dengan mereka yang datang membutuhkan bimbingan, dan ia merawat yang sakit. Rahib Pakomius mengenalkan aturan-biara (‘life-in-common’), membuat sama semua apa yang dimakan dan apa yang dikenakan. Para rahib di biara bekerja sungguh-sungguh dengan ketaatan, apa yang ditugaskan kepada mereka bagi keperluan, kebaikan komunitas biara.
Diantara berbagai tugas laku-ketaatan tersebut adalah penyalinan buku-buku. Para rahib tidak diijinkan memiliki uang bagi dirinya sendiri juga tidak menerima apapun dari kerabat mereka. Bagi Rahib Pakomius sebuah ketaatan, yang dipenuhi kesungguhan, lebih tinggi daripada puasa ataupun doa, dan yang ia minta dari para rahib adalah ketaatan yang tepat akan aturan monastik.

Suatu saat Maria, saudara perempuan Rahib Pakomius, datang ingin menemuinya. Tapi karena peraturan biara yang ketat, dia tidak dapat menemuinya dan melalui gerbang-penjagaan dia memberinya berkat padanya untuk memasuki jalan kehidupan membiara, berjanji akan membantunya. Maria merasa sedih, tetapi dia melakukan saja apa yang disarankan saudaranya itu. Para rahib Tabennis membangunkan baginya sebuah pondok disisi seberang sungai Nil. Tak lama kemudian berdatangan juga rahibah kepada Maria, dan setelah itu dibentuklah biara perempuan dengan sebuah aturan-biara yang ketat, yang disediakan Rahib Pakomius.

Jumlah rahib di biara itu tumbuh cepat, sehingga harus dibangun lagi 7 biara disekitarnya. Jumlah rahib mencapai 7000 dalam bimbingan Rahib Pakomius, yang rutin mengunjungi biara-biara dan mencatat mereka. St. Pakomius tetap saja sebagai rahib yang rendah hati, yang selalu sedia menerima dan memperhatikan bagaimanapun keadaan, kekurangan para rahib.

St. Pakomius keras dan ketat pada dirinya sendiri, ia baik dan setia membimbing ke semua rahib dengan segala kekurangannya sekalipun ada yang belum dewasa secara rohani. Ada seorang rahib yang bersemangat menjadi martir, tetapi St. Pakomius mengajari dan memintanya tetap dengan tenang menjalankan laku-ketaatan monastiknya, mengatasi kesombongan dan melatihnya kerendahan-hati. Suatu saat seorang rahib tidak mengindahkan nasehatnya dan pergi meninggalkan biara, diwaktu kemudian dia bertemu para perampok, yang lalu memaksa dia memberi korban persembahan pada dewa-dewa pagan dengan ancaman dibunuh. Dengan rasa putus asa, rahib itu kembali ke biara.

Rahib Pakomius memintanya berdoa siang dan malam, menjaga puasa ketat dan tinggal menyendiri. Rahib itu mengikuti nasehatnya, dan ini menyelamatkan jiwanya dari putus asa.

Sang rahib diajarkan menghindari menghakimi orang lain dan dia sendiri hingga menghindari menghakimi bahkan sejak dalam pikirannya.

Dengan penuh kasih Rahib Pakomius memperhatikan rahib-rahib yang sakit. Ia mengunjungi mereka, menghibur yang patah hati, ia mendorong mereka bersyukur kepada Allah dan meletakkan harapan mereka kedalam KehendakNya yang suci. Kepada yang sakit, ia meringankan puasanya, jika itu dapat membantu pemulihan kesehatannya. Suatu saat karena ketidakhadiran, rahib juru masak tidak dapat mempersiapkan makanan apapun, dengan beranggapan saudara-saudara rahibnya suka berpuasa. Bukannya menjalankan laku-ketaatan, rahib tersebut menganyam 500 tikar, sesuatu yang mana tidak dianjurkan Rahib Pakomius. Sebagai hukuman atas ketidaktaatannya, semua tikar yang telah disiapkan oleh rahib juru masak tersebut diminta untuk dibakar.

Rahib Pakomius selalu mengajarkan para rahib agar memiliki harapan hanya oleh pertolongan dan belas kasih dari Allah. Di biara pernah terjadi kekurangan persediaan gandum. Sang janasuci itu berdoa sepanjang malam, dan di pagi harinya tiba-tiba datang dari kota sejumlah besar gandum diberikan secara cuma-cuma. Tuhan mengaruniai Rahib Pakomius karunia membuat mujizat dan menyembuhkan yang sakit.

Tuhan menyatakan padanya bagaimana akhir kehidupan monastiknya. Sang rahib mengetahui, rahib-rahib penerus nantinya tidak memiliki semangat berusaha seperti yang dilakukan pendahulunya, dan mereka akan berjalan dalam kegelapan tidak ada bimbingan dari yang berpengalaman.
Dengan bersujud ke tanah, Rahib Pakomius menangis sedih, berseru kepada Tuhan dan memohon belas kasihan bagi mereka. Sebagai jawaban ia mendengar suara: “Pakomius, sadarlah akan belas kasih dari Allah. Soal para rahib yang akan datang, ketahuilah mereka akan mendapatkan imbalannya, karena mereka juga telah merasakan penderitaan dan beban hidup bagi seorang rahib.”

Menjelang akhir hidupnya St. Pakomius sakit terkena wabah yang melanda disekitarnya masa itu. Rahib murid terdekatnya, Rahib Theodorus (diperingati 17 Mei), yang merawat dia dengan penuh kasih. St. Pakomius meninggal sekitar tahun 348, dan dikuburkan di sebuah bukit di dekat biara.

Tinggalkan Balasan