Orthodoxia dan Teori Evolusi
Sebuah antropologi manusia yang komplit tidak bisa ditemukan hanya melalui observasi sains saja. Bagi Kristen Orthodox, suatu antropologi teologis juga eksis, yang tidak harus bertentangan dengan sains, malahan diperhitungan dalam antropologi manusia yang benar agar eksis dalam terang wahyu ilahi. Bagi Kristen Orthodox, evolusi manusia sebagaimana diobservasi melalui sains seharusnya tidak perlu mengaburkan wahyu ilahi ini. Antropologi daripada Gereja dalam terang wahyu ilahi merupakan semua yang diperlukan untuk direnungkan untuk tujuan keselamatan, yang berarti bahwa Gereja tidaklah perlu menyibukkan dirinya dengan perdebatan sains dan teori-teorinya, tetapi serahkanlah permasalahan tersebut pada para ilmuwan itu, seperti halnya para ilmuwan tidak perlu menyibukkan dirinya dengan persoalan tentang wahyu ilahi seakan sains dapat bertentangan dengan apa yang diluar daya pemahaman dan observasinya.
Evolusi Sang Manusia-Allah
(oleh St. Justin Popovich)
Anda meminta saya untuk menjawab pertanyaan, apakah pemahaman sains dalam evolusi dunia dan manusia dapat seiring berada bersama dengan pengalaman dan pengetahuan Orthodox yang tradisional. Anda juga bertanya, bagaimana posisi para bapa pada isu ini, serta apakah diperlukan ko-eksistensi semacam itu. Dalam ringkasan yang singkat, saya menulis demikian :
Antropologi daripada Perjanjian Baru berdiri atau jatuh pada antropologi dari Perjanjian Lama. Seluruh Injil dalam Perjanjian Lama : Manusia – sebagai gambar Allah! (dan) Seluruh Injil dalam Perjanjian Baru: Sang Manusia-Allah, sebagai gambar manusia! Apapun yang sorgawi, ilahi, kekal, ketak-binasaan, dan yang tak berubah dalam kemanusiaan adalah sebagai gambar Allah, keserupaan manusia denganNya.
Keserupaannya dengan ilahi dari manusia ini telah dirusak oleh dosa yang sama, yang bersama si iblis, melalui dosa dan kematian yang mengakar dari pelanggaran itu. Itulah sebabnya Allah menjadi manusia, untuk memulihkan gambarNya yang lapuk karena dosa. Itulah sebabnya IA berinkarnasi dan hidup didunia manusia sebagai Manusia-Allah, sebagai Gereja, untuk memberikan kepada gambar Allah – yaitu manusia – semua yang diperlukannya supaya manusia buatan-Allah, yang telah cacat ini, dapat dipulihkan kedalam tubuh sang Manusia-Allah yaitu Gereja, melalui pertolongan Sakramen Suci dan laku-kebajikan, menjadi matang sebagai manusia sempurna / mencapai “kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Efesus 4:13). Inilah yang dinamai antropologi Manusia-Allah. Tujuan dari makhluk yang serupa-allah yang dikenal sebagai manusia adalah satu : secara bertahap untuk menjadi sempurna seperti Allah Sang Bapa, untuk menjadi ilahi oleh karena rahmat, untuk mencapai theosis, pengilahian, Kekristenan, Ketritunggalan. Menurut para bapa suci, “Allah menjadi manusia, supaya manusia dapat menjadi ilahi” (St. Athanasius Agung).
Akan tetapi yang disebut antropologi “ilmiah” tidak mengakui hal keserupa-ilahian dari eksistensi manusia. Dengan ini, mereka menyangkali pemajuan evolusi keManusia-Allahan dari makhluk manusia ini.
Jikalau manusia bukanlah gambar Allah, maka sang Manusia-Allah dan InjilNya menjadi sesuatu yang tidak natural bagi manusia semacam itu, menjadi suatu mesin-mekanis dan tak mungkin dapat dicapai. Jika demikian maka Yesus sang Manusia-Allah ini bagaikan sebuah robot yang dibangun oleh robot-robot yang lainnya. Juga jika demikian sang Manusia-Allah ini malahan menjadi pengganggu dimana IA menginginkan dari manusia, dengan paksaan, agar manusia menjadi sempurna seperti diri Allah. Intinya malahan kita menjadi berbicara soal utopia forensik, sebuah ilusi belaka dan “ideal” yang tak mungkin dapat dicapai. Yang pada akhirnya, direndahkan menjadi hanya sebuah mitos, sebuah cerita karangan.
Jika manusia, bukanlah makhluk serupa-ilahi, maka Sang Manusia-Allah itu sendiri tidak diperlukan karena teori ilmiah evolusi tidak menerima istilah dosa, tidak diperlukan juga Juruselamat dari dosa. Dalam dunia sekuler dari “evolusi”, semuanya natural dan tidak ada ruang untuk (istilah) dosa bisa berada. Maka dari itu, menjadi suatu candaan saja jika membicarakan soal Juruselamat dan keselamatan dari dosa. Dalam analisa finalnya segalanya natural: dosa, kejahatan dan kematian. Karena, ketika semua dalam kemanusiaan yang timbul dan merupakan hasil dari evolusi, maka tidak ada apapun yang diperlukan untuk diselamatkan dari dirinya karena tidak ada hal yang kekal dan tidak dapat dirubah didalam dirinya, melainkan semuanya duniawi natural dan tanah liat dan semuanya bersifat sementara, fana, dan dapat dilihat.
Dalam suatu dunia “evolusi” tidak ada ruang bagi Gereja, yang adalah tubuh Kristus Sang Manusia-Allah. Teologi yang berbasis pada antropologi teori “ilmiah” dari evolusi, tidak lebih adalah suatu penegasian-diri. Pada intinya ini merupakan suatu teologi tanpa Allah dan suatu antropologi tanpa manusia. Jikalau manusia tidak dapat kekal dan bukanlah manusia-Allah sebagai gambar Allah, maka semua teologia dan antropologi tidak lain hanya sebuah candaan, sebuah komedi yang tragis.
Teologi Orthodox dan hubungan yang kita miliki bersama Sang Bapa adalah jalan bagi kenaikan kita menuju Sang Manusia Allah, semua-kebenaran yang Orthodox. Inilah sesuatu yang diperlukan analisa, dan bagi mereka yang berkecimpung dengan persoalan injil di planet ini. Seluruh persoalan dalam injil adalah secara esensial terfokuskan pada persoalanan manusia. Dan seluruh persoalan dari manusia terfokus pada satu isu, yaitu Sang Manusia-Allah. Hanya Sang Manusia-Allah yang menjadi solusi universal dari enigma yang disebut manusia. Tanpa Manusia-Allah dan diluar Manusia-Allah, pun manusia selalu – disadari atau tidak – berubah menjadi tidak manusiawi, berhala manusia, seorang superman, manusia-jahat. Apa bukti dan petunjuk akan hal ini? seluruh sejarah kemanusiaan.
________
(bess-050621)
Ref.:
http://www.bio-orthodoxy.com/2021/06/orthodoxy-and-theory-of-evolution-st.html?m=1