Puasa Kelahiran Kristus di Gereja Orthodox yang dilakukan selama 40 hari itu dimulai tanggal 15 November sampai 25 Desember (kalender Gereja), atau dimulai hari ini, tanggal 28 November sampai dengan 6/7 Januari (menurut kalender baru / Gregorian calendar). Puasa Kelahiran Kristus ini juga disebut Puasa Filipus karena dilakukan langsung sesudah Perayaan St. Filipus Sang Rasul Kudus dan Terpuji pada tanggal 14/27 November.
Dimulainya puasa ini, seperti halnya musim puasa-puasa lainnya dalam Gereja, telah ada sejak masa Kekristenan masa purba. Pada abad ke 4 St. Ambrosius dari Milan, St. Agustin, St. Leo Agung menyebut puasa Kelahiran Kristus ini dalam karyanya.
Puasa (Natal) ini tidak seketat masa puasa yang lain seperti Pra Paskah atau masa Dormition, dan dapat dibandingkan dengan puasa Para Rasul. Secara umum (jika diperhatikan di kalender Orthodox) puasanya berpantang dari produk daging, susu/keju, telur, anggur/beralkohol, minyak dan hampir selalu hari Rabu dan Jumat lebih ketat. Sementara hari selasa dan kamis bisa ditambahkan minyak dan anggur, selain hari-hari tersebut kadang bisa ditambahkan ikan, terlebih jika terdapat hari raya besar dalam masa itu seperti ‘Masuknya Theotokos ke Bait Suci’ atau pada hari Sabtu dan Minggu. Tentunya ada beberapa variasi diterapkan secara lokal sehingga petunjuk dalam Kalender-liturgis yang digunakan umat saat ini tidak dapat diterapkan secara persis sama di mana-mana. Namun, mengutip dari nasehat St. Serafim Rose : “Aturan puasa yang ada ini, tentunya, tidak dimaksudkan sebagai “hukum-wajib” bagi umat Ortodoks, atau malah menjadikan sumber kesombongan seperti kaum Farisi bagi siapa saja yang mampu menaati hukum Gereja. Ini lebih merupakan suatu aturan, suatu standar, yang dengannya masing-masing harus mengukur praktiknya sendiri (menurut kemampuan dan keadaan) dan ke arah mana seseorang tersebut harus selalu berusaha, sesuai dengan kekuatan dan keadaannya.”
Peringatan Kelahiran Kristus (Natal) mengajak kita melalui pertobatan, doa-doa, serta puasa untuk membersihkan diri dalam persiapannya menjelang peringatan Kelahiran Kristus, sehingga selayaknya dengan hormat kita berjumpa dengan Sang Putera Allah, yang telah hadir ke dunia dan sebagai hadiah dan persembahan yang dapat kita berikan bagi Dia dengan membersihkan hati serta kerinduan mengikuti pengajaranNya.
Nasehat St. Paisius Velichkovsky tentang Puasa.
Tentang St. Paisius Velichkovsky:
St. Paisius (1722-1794) lahir bernama Peter Velichkovsky di Poltava, Ukraina, dari keluarga imam. Diusia 13 tahun ia masuk Sekolah Teologi Kiev mengikuti jejak ayahnya, tapi terasa ada sesuatu yang hilang — yakni tradisi doa-batin dalam kehidupan membiara dan pendekatan patristik. Segera ia pergi mencari sebuah biara, dan pencariannya akan arahan hidup pertapaan sejati membawanya ke Gunung Athos dimana ia mengerjakannya selama tujuh belas tahun, hingga menjadi bapa rohani bagi banyak rahib. Tahun-tahun tersebut di Gunung Athos penuh terisi dengan bekerja dalam laku-pertapaan dan mempelajari hidup monastik yang sejati. Yunani pada masa itu dalam penjajahan Turki, bagaimanapun, di situasi politik semacam ini membuatnya tidak mungkin bagi sang tetua dan para muridnya untuk tetap tinggal di Gunung Suci.
Pada tahun 1763, St. Paisius dan 40 rahib pindah ke Biara Roh Kudus di Dragomir, Bukovina, Moldavia, dimana mereka memulihkan kehidupan membiara. Disini St. Paisius mulai pekerjaan terjemahan karya para suci kedalam bahasa Slavonik. Karena perang dan kekacauan di wilayah itu, tahun 1779 St. Paisius diberi kesempatan pindah ke Neamts, dimana kerahiban berkembang, dan ia memhasilkan bukan saja karya-terjemahan tapi juga karya tulisan patristiknya sendiri.
Hari ini, hari peringatannya, yang juga bertepatan dengan hari pertama Puasa Natal / Kelahiran Kristus. Perlulah dalam masa yang terberkati ini membaca nasehat dari St. Paisius tentang berpuasa dalam laku-pertapaan, tradisi Orthodox, dari salah satu karya tulisannya, ‘Field Flowers’.
Berikut adalah nasehat St. Paisius Velichkovsky tetang Puasa:
Puasa, saya menyebutnya makan sedikit, sekali dalam sehari. Bangkit dari meja makan selagi perut masih lapar, memiliki makanan, roti, garam, minuman, dari apa saja yang tersedia pada musimnya. Menjaga diri dari makanan maupun cara makan yang dalam kemewahan, demikianlah, banyak yang telah diselamatkan dengan jalan ini, itu yang dikatakan para Bapa Suci. Menahan diri dari makanan selama seharinya atau dua hari, tiga, empat, lima atau seminggu, seseorang tidak selalu dapat melakukannya. Tapi, kalau setiap hari makan dan minum siapa saja selalu bisa melakukannya; hanya saja, setelah makan, seseorang harus menjaga masih sedikit merasa lapar supaya tubuh akan menuruti roh dan tetap mampu untuk bekerja, serta mental pikirannya terjaga sensitif, demikian sehingga hawa-nafsu jasmani akan dapat ditundukkan. Puasa total tidak bisa melemahkan hawa-nafsu jasmani sebagaimana makan sangat sedikit dapat melemahkannya. Beberapa orang berpuasa pada rentang waktu tertentu lalu memberikan dirinya makanan enak-enak, banyak juga yang mulai berpuasa melebihi kekuatannya dan melakukan pekerjaan berat, kemudian mereka menjadi lemah karena kurangnya pengukuran-diri dan tidak seimbang dengan pekerjaan yang dilakukan, lalu mereka mencari makanan enak-enak dan menghentikan puasanya untuk menguatkan tubuhnya kembali. Cara seperti ini berarti membangun lalu merusaknya kembali, karena ketika melalui puasanya itu tubuh menjadi kurus sehingga menanti-nanti makanan yang manis dan enak lalu mencari kelegaan, dan malahan makanan yang manis-enak tersebut dapat menyalakan hawa-nafsu. Akan tetapi bila seseorang membuat suatu pengukuran-diri tertentu seperti seberapa banyak pengurangan makan dalam seharinya, dia akan mendapat keuntungan besar. Bagaimanapun, terkait jumlah makanannya, seseorang harusnya membuat suatu ukuran yang benar-benar dibutuhkan sekedar untuk cukup menguatkan dirinya sendiri. Seperti supaya dia dapat melakukan setiap karya rohaninya. Tetapi jika seseorang berpuasanya melampaui hal ini, dilain waktu ia akan menyerah dan berhenti puasa. Karya pertapaan (asketik) menurut pengukuran-diri itu tak ternilai. Beberapa bapa besar mengambil makanan sesuai ukuran cukupnya, dan semuanya mereka gunakan tepat pada waktunya saja, dan semuanya terukur dalam laku-petapaannya, kebutuhan tubuhnya, apa yang disimpan dalam pondoknya: semua menurut ukuran cukup dan aturan yang cukup. Maka dari itu, para Bapa Suci tidak meminta seseorang berpuasa melampaui batas kekuatannya yang membuat dia menjadi lemah saja. Buatlah aturan makanmu setiap hari; sehingga seseorang itu dapat menahan-diri secara lebih tetap, tapi jika ia berpuasa berlebihan, bagaimana ia nanti mampu menahan-diri dari makan sekenyangnya atau makan berlebihan? Tidak mungkin ia mampu melakukannya. Awal yang tidak wajar itu bisa datang dari kesombongan (ingin pujian) atau kurangnya pemahaman, sementara mawas diri menjadi salah satu kebajikan, yang membantu dalam usaha menundukkan kedagingan. Rasa lapar dan haus dikaruniakan pada manusia untuk pemurnian tubuh, untuk menjaga dari pikiran kotor dan luapan hawa-nafsu. Mengurangi makan setiap hari bertujuan untuk penyempurnaan, sebagaimana ada yang mengatakannya, dan dia yang makan setiap harinya pada jam tertentu saja tidak akan menurunkan moralitasnya atau tidak akan menyakiti jiwanya. St. Theodore sang Pelajar, memuji orang yang demikian itu dalam petunjuknya pada Jumat pertama Puasa Agung dimana ia mengutip kata-kaya nasehat dari para Bapa pengemban-Allah dan Tuhan sendiri maka kita juga harus melakukannya.
Tuhan Yesus berpuasa panjang, demikian juga Musa dan Elia. Dan beberapa yang lain ketika memohon sesuatu dari Pencipta, menjalankan puasa pada rentang waktu tertentu, namun sesuai ketentuan kodrat dan ajaran dari Kitab Suci. Dari kisah hidup para Orang Kudus, dari kehidupan Juruselamat kita, serta dari aturan hidup mereka yang hidup secara baik, nyata bahwa sangat baik dan selalu menguntungkan untuk siap dan menjalani upaya hidup asketik (pertapaan), dalam bekerja dan dalam ketabahan; bagaimanapun, bukan untuk melemahkan diri seseorang dengan puasa yang tak wajar dan untuk membuat tubuh sampai dalam keadaan malas. Jika tubuh lebih bersemangat karena usia muda, dia seharusnya menahan-diri lebih besar; tetapi jika lemah, harus dipertimbangkan makan lebih banyak atau sedikit. Perhatikan dan nilaikah menurut tiap keadaan kelemahan anda sendiri seberapa banyak bisa anda lakukan. Ada pengukuran-diri masing-masing dan pengajar bagi dalam batinnya adalah hati nuraninya sendiri; tidak semua orang memiliki (disiplin) aturan yang sama dan laku-pertapaan yang sama, karena beberapa ada yang kuat sementara yang lain lebih lemah. Beberapa sekuat besi, yang lain seperti tembaga, sementara ada yang lain seperti lilin. Dengan demikian temukanlah secara tepat masing-masing takaran-dirinya sendiri, makanlah sekali tiap hari, terlepas dari hari Sabtu, Minggu, dan hari-hari perayaan Tuhan. Suatu puasa yang cukup dan berakal sehat menjadi dasar dan yang utama dalam semua kebajikan. Seseorang haruslah memerangi yang jahat seperti melawan singa dan ular berbisa – dalam keadaan tubuh yang lemah dan kemiskinan rohani. Dia yang mengharapkan batinnya teguh dalam melawan pikiran-pikiran cemar haruslah mengendalikan tubuhnya dengan berpuasa.
Adalah tidak mungkin, tanpa berpuasa, melayani sebagai seorang imam. Sebagaimana orang perlu bernafas, demikian halnya berpuasa. Berpuasa, sekali ketika telah merasuk kedalam jiwa, akan membunuh dosa sampai ke kedalamannya dimana terletak.
Dari ‘The Little Russian Philokalia’, Vol. IV: St. Paisius Velichkovsky (Platina: St. Herman Press, 1994), 74-75.
______
(bess-261121)
Ref.:
https://pravoslavie.ru/88203.html
http://www.spc.rs/eng/nativity_fast