Ragi dari Orang Farisi dan dari Kerajaan Allah

(oleh Hieromonk Gabriel, 24/7/2018)*

Adalah fakta yang sangat jelas bahwa didalam Kitab Injil, Kristus hidup secara damai dan tanpa hambatan berjalan diantara semua macam orang : Yahudi, Romawi, Farisi dan orang Samaria, pemungut-pemungut cukai dan pezinah, orang-orang fanatik dan nelayan, orang kaya dan orang kerasukan setan. Dan meskipun dari segala macam dosa yang monumental yang hinggap didalam banyak orang yang IA temui diantaranya kesombongan, egoisme, keserakahan, pemberhalaan, hawa-nafsu, pengkhianatan, namun demikian IA menggenapi nubuat Yesaya yang benar : “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya” (Yes42:3). Hampir tidak ada sepatah katapun yang memarahi atau mengecam keluar dari mulutnya yang murni, bahkan ketika seluruh dunia penuh ledakan kekejaman, membalas Dia dengan ejekan, peludahan, cambukan, dan kematian sebagai balasan atas belas-kasihan, pengampunan, kesembuhan, dan hidup yang mana IA sendiri telah curahkan secara cuma-cuma dan melimpah keatas mereka semua yang ada disekitarNya.

Kecuali satu hal: Tuhan tidak ragu-ragu menegur seorang munafik. Diatas semuanya dengan cara demikian Tuhan menggenapi bagian ayat (dalam Yes42:3) berikutnya dan yang kurang-dikenal dari nubuat Yesaya : “..dengan setia ia akan menyatakan hukum.” (versi terjemahan KJV: “he shall bring forth judgement unto truth”)

Dalam Kitab Injil, Tuhan kita mengumumkan bahwa DiriNya Sendiri adalah Kebenaran, sementara Ia menyebut si iblis “bapa segala dusta” (Yoh8:44). Sehingga kita dapat melihat bahwa tidak ada dosa, hawa-nafsu, pelanggaran atau kekerasan-hati yang dapat dengan mudah memisahkan kita dari Allah seperti ketika kita “mengubah kebenaran menjadi sebuah kebohongan.” Khususnya ketika bahwa kebohongan itu adalah hidup sejati kita sendiri.

Stepan Trofimovich, pada penutupan novel ‘Demons’ karya Dostoevsky, mendapat penyataan ini ketika mendengar Khotbah diatas Bukit pada waktu di ranjang-kematiannya:

“Yang paling buruk adalah bahwa aku mempercayai diriku sendiri ketika aku berbohong. Hal tersulit dalam hidup ini adalah bagaiman hidup dan tidak berbohong … dan … dan tidak mempercayai kebohongan seseorang itu sendiri, ya, ya, itulah tepatnya!”

Dan sesungguhnya, untuk hidup dalam cara demikian itu jauh lebih sulit dari kedengarannya. Saya teringat pada sebuah kisah disampaikan Metropolitan Tikhon (Shevkunov):

Pada suatu hari, saya dapat menyampaikan satu dan pertanyaan yang sama kepada dua petapa yang berbeda – Romo Yohanes (Krestiankin) dan Romo Nicholas Gurianov: ‘Apakah yang menjadi penyakit utama dalam kehidupan kontemporer dalam Gereja?’ Rm. Yohanes sekali menjawab, ‘Ketidakpercayaan!’ “’Bagaimana bisa itu terjadi?’ saya memprotes. ‘Dan bagaimana dengan pada imamnya?’ beliau menjawab lagi, ‘Untuk para romo juga demikian – ketidakpercayaan!’ kemudian secara terpisah saya bertanya ke Rm. Nicholas Gurianov, dan beliau memberikan jawaban yang sama persis, terlepas dari Rm. Yohanes : ketidakpercayaan.

Sebuah pengamatan serupa oleh Jordan Peterson ketika ia menunjukkan bahwa sebagian besar orang sebenarnya tidak mengerti apa yang mereka imani (percayai). Ia mengatakan hal ini dalam ranah sebagai seorang psikolog-klinis. Tapi yang luar biasa, ia mengatakannya persis ketika ia ditanya tentang apakah ia percaya akan Allah atau tidak. Ia menjawab: “Saya berlaku seolah Dia ada.”

Sementara mungkin terdapat banyak upaya menghindari menjawab demikian (dia tidak suka ditanya apakah dia percaya akan Allah, karena dia tidak senang berada “dalam sebuah kotak”), disaat yang sama dia sebenarnya membuat poin yang sama dengan seseorang yang dikisahkan Metropolitan Tikhon, Rm. Yohanes (Krestiankin), dan Rm. Nicholas Gurianov. Kehidupan kita sering memberikan jawaban yang berbeda atas pertanyaan: “Apa yang anda imani?” daripada apa yang kita ucapkan dan pikirkan.

Jika kita sungguh percaya bahwa Kristus bangkit dari mati, jika kita sungguh percaya bahwa kita dapat mati kapan saja, jika kita sungguh percaya bahwa satu-satunya hal yang berarti dalam hidup adalah mengasihi Allah dan setiap anak-anaknya laki-laki dan perempuan sepenuhnya sedapat mungkin, jika kita sungguh percaya bahwa Allah datang untuk membuat kita ilahi, bahwa kita oleh rahmat sungguh dapat menjadi semua serupa dengan Allah menurut kodrat… akankah hidup kita menyerupai apapun seperti semua itu?

Jadi kita seharusnya bersedia mendengar satu-satunya teguran dari Kristus kepada siapapun dalam hidup ini: bukan “orang berdosa,” melainkan “orang munafik.”

Seberapa menyedihkannya dan tragisnya dosa itu, namun demikian bahkan dosa yang terburuk pun dapat diampuni dan disembuhkan dalam sekejap. Tidak ada apapun yang kita pernah perbuat atau mungkin dilakukan menjadi halangan bagi kemurahan dan kasih dari Allah.

Tetapi Allah tidak dapat berbuat apa-apa pada orang yang seluruh hidupnya adalah kebohongan. Mengapa? Cukup sederhana: karena kita tidak akan mengijinkan Dia. Kita menolak untuk hidup dalam dunia yang nyata, dalam dunianya Allah. Kita dengan keras kepala melekat pada suatu fantasi hasil dari rancangan kita sendiri.

Kristus memperingatkan para muridNya untuk melawan “ragi orang Farisi, yaitu kemunafikan” (Luk12:1). Ragi tersebut dapat bersembunyi kedalam kehidupan kita, dibalik lapisan iman dan kesalehan dan kebenaran, dan ketika itu yang terjadi maka perlahan namun pasti itu akan menelan semua yang disetuhnya. Maka sabda dari Kristus kepada orang Farisi ini akan digenapi terjadi dalam diri kira juga : “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu” (Yoh9:41).

Sungguh tepat, para bapa suci benar mereka telah mengatakan bahwa seseorang yang dapat melihat dosanya sendiri lebih besar dari pada dia yang dapat melihat malaikat.

Akan tetapi kita hidup dalam sebuah dunia yang bersikeras bahwa baik dosa maupun malaikat itu tidak ada. Dan meskipun kita mengatakannya dan memikirkannya atau tidak, cukup sering kita berbuat seolah demikian halnya. Kita menjalani hidup kita seolah dunia itu yang benar dan Injil lah yang keliru. Kita begitu sering bersikap seolah Allah itu tidak ada, dan kehidupan ini adalah apa yang ada demikian saja terjadi.

Itulah mengapa Misteri (Sakramen) Pengakuan Dosa menjadi sangat penting dalam kehidupan orang Kristen. Karena ketika kita berangkat mengaku-dosa kita mempunyai kesempatan akhirnya menjumpai kebenaran tentang hidup kita. Kita, setidaknya beberapa menit ini, berlaku seolah kebenaran itu benar. Dan itulah letak yang sangat baik untuk memulai. Itulah sebagai pintu gerbang menuju rahmat dari Allah masuk kedalam hati kita, untuk mulai menerangi kegelapan dan kedalaman rohani kita yang lama kosong. Pengakuan-dosa sebenarnya adalah “Misteri Pertobatan,” dalam makna penuh dari dua kata tersebut. Dan pertobatan, dalam kata-kata Patriakh Kyrill, “adalah sebuah kesempatan untuk membuang dosa, setelah mengatakan kebenaran kepada dirimu sendiri tentang hidupmu sendiri, dan melakukan hal ini dihadapan Allah.”

Dalam jaman modern ini kita semua, seperti pernah dikatakan Dostoevsky, “anak dari ketiadaan-iman dan skeptikisme.” Kita mungkin menanti untuk percaya dengan sepenuh hati, dan sering kita masih mencari – ketika kita secara jujur melihat kehidupan kita sendiri – bahwa nampaknya kita tidak mempercayai apapun sama sekali.

Tetapi bahwa secuil saja kejujuran adalah cukup. Karena Kerajaan Sorga adalah juga ragi. Sedikit butiran ragi dari iman saja yang kita butuhkan semua.

Dan iman bukanlah sebuah pemikiran atau perasaan, melainkan suatu keputusan. Akankah kita memutuskan untuk mempercayai kebohongan kita sendiri, atau tidak? Keputusan ada pada kita.

Oleh rahmat dan belas kasih dari Allah, semoga kita semua dengan bijak memutuskan. Amin.

_______
(bess-181121)
*) Alih bahasa dari :
https://blogs.ancientfaith.com/rememberingsion/2018/07/24/leaven-pharisees-kingdom-god/

Tinggalkan Balasan